Ahli lingkungan menyatakan kekhawatiran bahwa terumbu karang yang terkubur di bawah sedimen dapat mengganggu ekosistem laut dengan mengganggu pertukaran nutrisi, aktivitas kehidupan laut, dan proses biologis. Dampak negatif ini dapat berujung pada kematian terumbu karang yang kemudian merusak ekosistem laut secara keseluruhan dan menyebabkan hilangnya habitat bagi berbagai spesies ikan dan hewan laut.
Gangguan ekologis ini pun berdampak secara langsung pada sektor pariwisata, seperti operasi menyelam, layanan homestay, dan transportasi perahu di daerah tersebut. Penurunan kejernihan air dan keanekaragaman hayati juga dapat mengurangi daya tarik wisata bagi pengunjung yang akhirnya berdampak pada pendapatan lokal di area tersebut.
Masyarakat lokal, termasuk orang Kawei, bersama asosiasi pariwisata, telah menyuarakan penolakan terhadap operasi penambangan yang ada. Organisasi internasional juga ikut mendesak pemerintah Indonesia untuk memperkuat undang-undang perlindungan terhadap pulau-pulau kecil, menjalankan penilaian lingkungan yang lebih ketat, dan menerapkan larangan penambangan di zona terumbu karang.
Presiden Prabowo Subianto juga telah mengeluarkan keputusan resmi untuk mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel dari empat perusahaan di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, mulai Selasa, 10 Juni 2025. Langkah ini diharapkan dapat menjaga kelestarian terumbu karang dan ekosistem laut di daerah tersebut.