Dalam buku Misteri Bulan Suro, Perspektif Islam Jawa karya Muhammad Solikhin, disebutkan bahwa kata “suro” berasal dari kata “asyura” yang berarti “sepuluh” dalam bahasa Arab. Asyura merujuk pada tanggal 10 bulan Muharam yang terkait dengan peristiwa wafatnya Sayyidina Husein, cucu Nabi Muhammad di Karbala, Irak.
Sultan Agung memperkenalkan pola peringatan tahun Hijriah secara resmi di Jawa, yang kemudian diikuti oleh seluruh masyarakat. Berbagai ritual perayaan Muharram dan Asyura di Indonesia dijaga kelestariannya berkat kontribusi Sultan Agung.
Di Keraton Surakarta, peringatan Satu Suro dilakukan dengan bersyukur, merenung, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT di Masjid Pujasana. Pada masa Paku Buwono XII, upacara kirab pusaka malam Satu Suro dilakukan seminggu sekali pada hari Jumat dengan mengelilingi bagian dalam keraton.