Memuat…
Budidaya kolam lele bioflok menjadi pilihan utama warga perkotaan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Foto/Dok SINDOnews
“Kami mengalokasikan modal sebesar Rp40 juta dari program ini untuk membeli bibit, peralatan kolam, pompa udara, pakan, dan peralatan lainnya,” kata Murji.
Murji, yang berasal dari Tulungagung, Jawa Timur, juga merupakan anggota kelompok ini. Bersama anggota lainnya, mereka adalah masyarakat dengan penghasilan tidak tetap yang diberdayakan melalui kegiatan budidaya perikanan.
Dia mulai belajar dari anggota lain yang berpengalaman dalam membudidayakan ikan lele dan nila. Mulai dari pemberian pakan ikan, cara membuat kolam, hingga penggunaan obat-obatan dan pakan probiotik untuk mendukung pertumbuhan ikan, semuanya menjadi hal baru bagi Murji, seorang pengemudi ojek online.
“Kami memilih sistem bioflok karena pertumbuhan mikroorganisme di kolam dapat memberikan hasil yang lebih banyak dan limbahnya dapat diolah kembali sebagai pakan ikan,” ujar Murji.
Sebidang lahan kosong seluas 200 meter persegi milik salah satu anggota kelompok dijadikan tempat budidaya ikan. Sistem bioflok dianggap cocok karena hemat lahan dan biaya. Setiap 1.000 ekor bibit ikan bisa ditebar di setiap 10 meter kubik air. Kelompok ini memiliki empat kolam terpal sebagai tempat budidaya.
“Dalam setahun, kami bisa panen lele atau nila sebanyak 3-4 kali. Hasil panen sebagian kami konsumsi sendiri, dan sisanya kami jual ke pasar,” jelas Murji.
Dalam setiap panen tiga hingga empat bulan, kelompok ini bisa menghasilkan 20 kilogram ikan. Hasil panen dibagi-bagikan kepada anggota, masing-masing mendapatkan satu kilogram ikan. Ikan yang tidak dikonsumsi dijual ke penadah ikan dengan harga rata-rata Rp 19 ribu per kilogram. Uang dari penjualan ini digunakan untuk membeli bibit ikan lagi.