Ironisnya, begitu banyak kematian dan kehancuran yang menimpa perempuan Palestina sehingga mereka tidak punya waktu untuk menyadari dampak pelecehan ini, kata para ahli. Apa yang dilakukan tentara Israel terhadap barang-barang pribadi perempuan tersebut hanyalah puncak gunung es dari apa yang terjadi dalam kehidupan perempuan sehari-hari, kata aktivis dan akademisi Palestina Dr Maisa Shquier pada TRT World.
Beberapa dekade sebelum perang pecah pada 7 Oktober 2023, penulis Nadera Shalhoub-Kevorkian memperkenalkan konsep “persenjataan” tubuh perempuan dalam konflik Palestina-Israel, dengan menggarisbawahi perlakuan terhadap perempuan sebagai instrumen agenda politik dan militer.
“Dalam budaya konservatif seperti Palestina, barang-barang ini sangat bersifat pribadi. Jadi ketika mereka berfoto dengan barang-barang tersebut, itu adalah pelanggaran terhadap ruang paling pribadi dalam kehidupan seseorang, sebuah penghinaan tingkat tertinggi,” kata Shquier.
Lebih dari laki-laki, perempuan Palestina menderita di bawah pendudukan Israel, memikul beban masyarakat konservatif di mana pengalaman mereka selalu direduksi jadi masalah “kehormatan.” Itulah sebabnya kekerasan terhadap perempuan berdampak besar pada kondisi emosi masyarakat Palestina, sebuah taktik yang sering dilakukan pasukan Israel, kata para ahli.
Shquier mengatakan, kekerasan seksual adalah bagian mendasar dari pemerintahan kolonial yang diterapkan Israel. Laporan PBB baru-baru ini mengenai Gaza mendokumentasikan berbagai bentuk kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan, ancaman pemerkosaan, dan kekerasan seksual.