Pada Tahun 2023, Hari Tanpa Tembakau Sedunia akan diperingati. Seorang petani tembakau dari Kenya, Alice Achieng Obare, memberikan kesaksian tentang dampak negatif dari proses pengolahan tembakau. WHO mencatat bahwa proses pengeringan tembakau menggunakan teknik pengasapan (Fire Curing) menghasilkan asap yang merusak kesehatan. Tes x-ray paru-paru Obare menunjukkan kerusakan akibat asap tembakau, yang membuatnya sulit untuk beraktivitas. Setelah beralih menjadi petani kacang, Obare merasakan perbedaan signifikan, tidak hanya dalam proses pengerjaannya yang lebih ringan, tetapi juga dapat menjalankan kegiatan bisnis lainnya tanpa stres.
Melalui Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), WHO telah berupaya untuk mengendalikan dampak negatif dari pertanian tembakau. Dengan upaya ini, WHO berharap dapat melindungi generasi masa depan dari dampak negatif tembakau. Anak-anak, wanita hamil, dan pekerja perkebunan tembakau menjadi kelompok yang rentan terkena dampak negatif dari proses pengolahan tembakau.
Tembakau tidak hanya digunakan sebagai bahan baku rokok, tetapi juga dapat digunakan sebagai bahan pestisida, obat mujarab untuk mengatasi gigitan lintah, serta obat herbal untuk menyembuhkan luka. Beberapa negara, seperti Filipina, Srilanka, Turki, Selandia Baru, Malaysia, dan Indonesia, telah berhasil mengubah fungsi lahan tembakau mereka untuk menanam komoditi pangan yang menguntungkan.
Melalui kampanye “We Need Food, Not Tobacco”, WHO ingin menyadarkan dunia akan pentingnya mengurangi konsumsi tembakau dan mengalihkan lahan tembakau untuk kegiatan pertanian yang lebih bermanfaat. Semoga peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia pada 31 Mei 2023 menjadi momentum untuk merenungkan dampak negatif dari pertanian tembakau dan membawa dunia ke arah yang lebih baik.